DULU, ketika masa Orde Baru (Orba), pers mahasiswa
(persma) mampu menjadi media alternatif untuk melakukan kontrol sosial. Kebebasan pers umum waktu itu telah
dibelenggu oleh kebijakan-kebijakan rezim Soeharto. Orba dengan ganas
mengeluarkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) untuk memberangus
kebebasan pers pada masa itu. Hanya persma yang bisa bersuara dengan bebas.
Namun, di era reformasi gairah persma
mulai meredup. Persma tak lagi mampu menjadi media alternatif yang berani
bersuara kritis seperti pada masa Orba. Kini, gerak persma malah terbelenggu
kebijakan birokrasi kampus.
Banyak kawan aktivis persma yang berbagi
keluh-kesah soal kebijakan kampus yang membelenggu kebebasan mereka. Mereka tak
akan mendapat suntikan dana dari kampus, jika karya jurnalistiknya menyudutkan
pihak birokrasi. Karena faktor itu, kini persma tak lebih sebagai media untuk
pencitraan kampus.
Ketajaman pena persma mulai
tumpul. Persma tak mampu lagi menyuarakan kebenaran di dalam kampus.
Sebagai pelarian, banyak persma yang memilih mengangkat isu-isu di luar kampus.
Meminjam kata Musyafak Timur Banua, langkah ini justru menggiring persma
menjadi ‘macan ompong’ di tengah makin ketatnya kompetisi media massa umum.
Persma kalah saing dengan pers umum
lainnya. Apalagi era reformasi membuka gerbang kebebasan seluas-luasnya
kepada pers. Persma layaknya makluk kecil di antara raksasa perusahaan
media pers. Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, memberi keleluasaan
untuk semua media pers, sehingga lebih terbuka, interaktif, dan kritis.
Pertumbuhan penerbitan koran di Indonesia
pun mencapai kuantitas yang cukup tinggi. Kurang lebih 1.400 buah koran mencoba
eksis di tengah persaingan ketat. Namun, di balik tumbuh suburnya media pers,
banyak kalangan yang
mempertanyakan kenetralan media-media tersebut. Pasalnya, tak sedikit media
yang dikuasai oleh beberapa kelompok politik dan bisnis saja. Hanya 350 buah
penerbit yang bekerja dengan sehat sesuai
kode etik jurnalistik.
Hal inilah yang kemudian membuka peluang
kembali kepada persma agar menjadi pers alternatif yang memberikan wacana yang
cerdas kepada mahasiswa. Harapannya, penguasaan opini tak hanya memusat di
kalangan kelompok politik dan bisnis saja. Tapi, untuk semua lapisan
masyarakat.
Persma sekarang tak lagi dianggap khusus
atau eksklusif. Persma harus mengacu pada prinsip pengelolaan pers pada
umumnya. Meski pola pendanaan persma masih bergantung pada birokrasi kampus,
hendaknya persma tetap independen. Jika terkendala kebijakan birokrasi kampus,
maka persma harus siap hidup mandiri dengan menggandeng erat sponsorship.
Era Teknologi
Sedini mungkin, persma perlu
mengantisipasi perkembangan industri media yang begitu pesat. Kemajuan
teknologi informasi menjadi peluang sekaligus tantangan bagi persma. Saat ini,
media cetak kian dijauhi pelanggan. Media elektronik seperti televisi dan cyber lebih diminati khalayak.
Seyogianya, persma mampu memanfaatkan
momentum kelahiran teknologi informasi. Dengan keterbatasan dana yang ada,
persma perlu mencoba mengepakkan sayapnya ke arah konvergensi pers umum.
Dengan begitu, persma semakin gesit
memberi sajian informasi kepada mahasiswa. Sehingga mampu memberi angin
perubahan terhadap lingkungan kampus dalam tempo yang singkat. Selain itu,
persma akan lebih berani menyuarakan kebenaran dan membela kepentingan
masyarakat luas, terutama kalangan kampus.
Profesional
Banyak kalangan yang menilai persma belum
profesional. Persma tak lebih sebagai wadah minat dan bakat mahasiswa di bidang
tulis-menulis. Ia layaknya tempat berlatih mahasiswa sebelum mereka terjun ke
dunia wartawan profesional.
Namun, pada kenyataannya kerja jurnalistik
harus memiliki kompetensi dan profesionalisme yang didasarkan kode etik
jurnalistik. Sehingga, mau tidak mau persma harus berjuang menjadi wartawan dan
pengelola pers yang profesional.
Dalam buku pedoman Standar Kompetensi Wartawan,
Dewan Pers menyebutkan ada tiga bidang kompetensi yang harus dimiliki
wartawan. Pertama, kesadaran (awareness) tentang etika jurnalistik
dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi. Kedua,
pengetahuan (knowledge) tentang teori dan prinsip jurnalistik,
pengetahuan umum, dan pengetahuan khusus. Dan ketiga, keterampilan (skills)
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
(berita).
Kompetensi wartawan ini adalah hal
mendasar yang harus dipahami, dimiliki, dan dikuasai seorang wartawan. Tanpa
terkecuali aktivis persma. Persma dituntut melaksanakan tantangan berat ini
untuk mencapai derajat profesional. Selamat menjawab tantangan!
Abdul Arif
Sekretaris Redaksi Surat Kabar Mahasiswa
(SKM) Amanat
IAIN Walisongo Semarang